Ahlan wa sahlan!

Ahlan wa sahlan!

Selamat datang di blog saya, semoga bermanfaat.. :)

Jumat, 14 Oktober 2011

LAFADZ CINTA SEORANG HAMBA

Oleh : Chikmah Nurul Azizah

Ibu Rina menangis pilu saat mendengar dokter memvonis bahwa kanker Rina telah mencapai stadium akhir. Rina hanya bisa menjerit dalam hati dan meratapi takdir hidupnya.
“Kenapa aku harus seperti ini ya Allah, aku harus menahan rasa sakit diatas kepedihan Ibu dan keluargaku atas apa yang terjadi padaku, adilkah ini Ya Rabb?” bisik Rina dalam kepedihan hatinya.
Sudah berkali-kali Rina keluar – masuk rumah sakit untuk menjalankan pengobatan atas kanker yang dideritanya. Mungkin ini terlalu berat untuk diri Rina dan keluarganya. Di usia yang masih muda ini Rina harus menjalani hari-hari yang dipenuhi berbagai macam obat-obatan. Sudah tak ada harapan lagi untuknya hidup di dunia ini.
Dalam kesedihan Rina selalu menghibur diri dan mencoba melupakan sejenak tentang penyakit kanker hatinya. Salah satunya dengan ia selalu mengenang kebahagiaan bersama orang-orang yang ia sayang sebelum kanker menggerogoti hatinya. Ardi, dia adalah orang spesial yang selalu di hati Rina. Mereka berdua saling mencintai satu sama lain, tetapi adanya ganjalan syariat yang membuat meraka belum bisa menyatukan cinta mereka. Kata-kata Ardi yang selalu terngiang dalam hati Rina adalah “Bukannya aku tidak tulus untuk mencintaimu, hanya saja syariat belum memperbolehkannya. Saat ini yang bisa kuperbuat hanya berdoa semoga Allah menyatukan kita dalam cinta-Nya”. Kata-kata itu selalu mengingatkan Rina kepada Ardi.
Semenjak lulus SMA Rina sudah tidak pernah bertemu dengan Ardi. Ardi yang sedang melanjutkan studinya di luar kota tidak pernah menemui dan menanyakan kabar kepada Rina. Terakhir Ardi hanya memberikan kabar singkat lewat e-mail yang dikirimnya setelah satu bulan kelulusan. Tak sabar Rina meneteskan air mata diatas derita sakit kanker hatinya.

****
“Nak, minum obat dulu ya !” kata ibu.
“ Sudah tidak ada harapan lagi bu, untuk apa aku minum obat, yang tetap pada akhirnya aku akan …. “ Jawab Rina.
“ Jangan kamu bilang seperti itu, sakit dan sembuh itu kehendak Allah nak, Allah pasti menyukai hambanya yang tidak berputus asa.“ Kata Ibu menguatkan hati Rina.
“ Tapi bu …. .” Sanggah Rina
“ Sudahlah jangan kamu sesali apa yang telah terjadi, Allah bersama orang-orang yang sabar.” Jawab Ibu Rina.
Tak jarang teman-teman Rina semasa SMA menjenguk Rina untuk menghiburnya . Okta dan Zira adalah sahabat setia yang selalu menemani Rina dikala sakit. Sebenarnya belum lama Okta dan Zira tahu tentang sakit yang dialami Rina, karena keluarga Rina memilih diam dan merahasiakan penyakit Rina terhadap orang-orang luar termasuk didalamnya Ardi, sampai sekarangpun Ardi belum mengetahui tentang kabar Rina, bagaimana keadaannya, kesehatannya, termasuk kehidupannya sekarang. Sudah banyak usaha-usaha yang dilakukan keluarga Rina untuk menyembuhkan kanker hati yang diderita Rina, mulai dari terapi, rukyah, obat medis maupun obat herbal.
Kanker yang menggerogoti Rina sudah ada sejak empat tahun terakhir, tepatnya ketika awal Rina masuk perguruan tinggi swasta di kotanya. Waktu itu Rina hanya merasakan ada sesuatu yang sakit di hati. Saat ia memeriksakan ke dokter, sakit itu hanya sekedar sakit biasa. Tetapi saat beberapa bulan kemudian setelah Rina mengeluh sakit dan saat itu pula diperiksakan ke dokter lagi ternyata ada tumor ganas dalam hati Rina yang kemudian menjadi kanker, hingga kanker ganas yang belum ada obatnya kecuali ada di pendonor hati.

****
Berhari-hari Rina terbaring dikamar tidur, kamar tidurnya telah disulap bak kamar di rumah-rumah sakit, disitu ada infus, oksigen dan alat-alat medis yang dibutuhkannya, kata Rina dia ingin menghabiskan sisa-sisa hidupnya hanya di rumah.
Tak ada suatu kebahagiaanpun yang diharapkan Rina di detik-detik terakhir hidupnya. Dia hanya mampu menghabiskan waktunya untuk selalu beribadah dan mendekatkan diri kepada sang Khaliq. Disetiap nafasnya ia selalu berdzikir mengingat Allah, mekipun shalatnya hanya dengan kedipan mata tak menyurutkan hati Rina untuk pasrah kepada-Nya atas apa yang terjdi padanya. Dia hanya berharap bahwa suatu hari nanti kedua orang tuanya dan adik-adiknya selalu bahagiadalam hidupnya. Sebuah cita yang mulia disaat penyakit menggerogoti hatinya, ia masih memikirkan kebahagiaan adik dan kedua orang tuanya.

****
Empat tahun berlalu, tak terasa Ardi telah meraih impiannya. Dengan waktu hanya enam semester atau tiga tahun saja, Ardi telah mampu merampungkan kuliahnya dan setelah dua bulan wisuda dia langsung diterima bekerja di salah satu Bank Syariah bertaraf Internasional. Semua itu hasil dari kepandaian dan keinginan besar Ardi untuk cepat meraih cita-citanya. Dalam hati Ardi terbersit rindu yang begitu mendalam kepada Rina dan ia berkata bahwa setidaknya ia harus mengambil cuti beberapa hari untuk bertemu Rina. Adanya jarak yang menghambat pertemuan mereka tidak menjadi masalah bagi Ardi untuk bertemu Rina.

****

Ardi yang meraih mimpi diluar kota itu sekarang sudah kembali untuk beberapa hari dikota tercintanya. Dengan kebulatan hati Ardi yang ingin bertemu dengan Rina membuat ia langsung menuju rumah Rina, tak kuasa hati Ardi menahan rindu yang begitu mendalam pada Rina, membuat rona bahagia terpancar diwajahnya. Dalam hati Ardi terucap “ Rin, aku kembali untuk memenuhi janjiku empat tahun yang lalu, bahwa aku akan kembali dengan kesuksesan dan saat itu pula aku akan meminangmu menjadi kekasihku yang sudah tidak terhalang syariat lagi.”.

****
“ Tok…. tok….tok….., Assalamualaikum “ kata Ardi setelah sampai di depan pintu rumah Rina.
“ Wa’alaiukumsalam, sebentar.” Ibu Rina bergegas membukakan pintu untuk menyambut kedatangan Ardi di luar .
“ Ooo…. nak Ardi, subhanallah bagaimana kabarmu ? lama sekali tidak bertemu, mari masuk !” kata Ibu Rina.
“ Alhamdulillah baik bu, Iya bu empat tahun terakhir ini saya berada diluar kota dan baru kali ini saya pulang, Rina ada bu ?” tanya Ardi dengan nada bahagia.
Sungguh sulit memberitahukan Ardi tentang keadaan putrinya, ibu Rinapun hanya mampu menjawab “ Rina ada nak sekarang ada di kamar.”
Begitu mendengar jawaban dari ibu Rina, Ardi langsung bertanya .
“ Apakah saya boleh menemui Rina, bu ?”
“ Tentu boleh, mari .” jawab ibu Rina sambil mempersilahkan menuju kekamar Rina .
Lalu diantarkannya Ardi kekamar Rina, sebelum masuk ke kamar Rina sudah tercium bau obat-obatan oleh Ardi dan ketika Ardi membuka pintu kamar Rina tak disangka ia melihat Rina terbaring diatas tempat tidur yang didampingi oksigen dan infus. Air mata kesedihan bercampur kerinduan Ardi tidak terbendung lagi, Ardi kaget dengan apa yang dilihatnya dari Rina. Kaki Ardi sontak lemas membuatnya langsung duduk disamping tempat tidur Rina. Dalam hati Ardi terbersit “ Ada apa dengan Rina dan mengapa dia seperti ini ?”
“ Rina sudah empat tahun terakhir ini terkena penyakit kanker hati, tepatnya ketika awal dia masuk perkuliahan. Kanker ganas yang menggerogoti hatinya dengan cepat telah mencapai stadium akhir. Dan ketika berbagai pengobatan telah dijalani, inilah puncak penyakit Rina. Oleh Dokter, hati Rina telah divonis kanker yang telah mencapai stadium akhir, kita hanya bisa pasrah dengan keadaan ini. Sekarang Rina hanya terbaring tak berdaya menanti detik-detik terkahir dalam hidupnya.” Kata Ibu Rina dengan meneteskan air mata.
Ardi hanya bisa pasrah melihat semua itu, tak disangka Rina yang sebelumnya tertidur ia telah terbangun .
“ Nak disini ada nak Ardi yang ingin bertemu denganmu .” kata ibu Rina sambil mengusap air matanya.
“ Siapa, bu ? Mas Ardi ? Subhanallah !” tak disangka ketika Rina menoleh kesamping Ardi sudah ada disamping Rina.
“ Iya, aku disini Rin, aku datang untuk menemuimu, aku datang ingin memenuhi janjiku empat tahun yang lalu, maafkan aku jika selama ini tidak memberikan kabar kepadamu, yang ada di benakku hanya ingin fokus di studiku, agar aku bisa cepat sukses dan aku cepat kembali bersamamu .” kata Ardi dengan mengeluarkan air mata.
“ Hapuslah air matamu mas, aku tidak ingin kamu sedih atas apa yang menimpaku, tapi maaf aku tidak bisa memenuhi janji itu, waktuku hidup di dunia ini takkan lama lagi dan aku kan meninggalkanmu dan semua kenangan empat tahun yang lalu itu.” kata Rina .
“ Tapi Rin, aku sungguh mencintaimu, aku tak peduli apa yang akan terjadi padamu esok, aku hanya ingin menyatukan cinta kita yang dulu terhalang syariat itu, maafkan aku jika semua ini membuatmu menunggu lama !!” kata Ardi lirih.
“ Semua ini tidak mungkin untukku mas, maafkan aku .“ jawaban singkat Rina.
Hati Ardi menangis pilu, kebahagiaan yang telah ia nantikan kini telah sirna, apa yang ia harapkan telah pupus, Ardi hanya bisa berserah diri kepada Allah atas apa yang terjadi padanya.
“ Sudah waktunya sholat bu, saya permisi ke musholla dulu.” Kata Ardi.
“ Ia nak “ jawab ibu Rina dengan penuh kesedihan melihat kejadian ini.

****

“ Ya Allah apa yang terjadi ? Kenapa semua ini begitu berat bagiku.? Harapan yang aku bangun selama ini telah sirna, impian yang aku rajut hilang begitu saja, kuatkanlah hatiku dan hatinya Ya Robb, aku mohon jika memang kesembuhan menjadi yang terbaik untuk Rina, tolong sembuhkanlah, tetapi jika tidak kuatkanlah hatinya untuk menerima cobaan yang begitu berat dari-Mu, Amin ya robbal ‘alamain .” doa Ardi seusai sholat .
Setelah sholat Ardi kembali menuju ke kamar Rina, mereka berdua saling meluapkan kerinduan yang mereka simpan di hati mereka masing-masing.
“ Rin, sebenarnya aku datang kesini bermaksud meminangmu, apapun yang terjadi padamu aku terima semua kekuranganmu, aku jadikan sakitmu juga sakitku, bebanmu juga bebanku, kesedihanmu juga kesedihanku. Dengarkan permintaan hati ini, meskipun dalam keadaan sakit aku harap dengan bersamaku kamu akan bahagia, sekarang cita dan anaganku dulu telah aku raih, hanya untuk bisa bersamamu .” kata Ardi .
“ Maafkan hati ini yang sebenarnya begitu ingin memenuhi janji itu, tapi aku tidak bisa, aku pasti akan sangat bersedih, aku pasti akan sangat bersedih apabila orang yang aku cintai sakit karenaku, kita pasrahkan cinta kita kepada Sang Maha Cinta, Dia yang menjadi saksi cinta kita, maafkan aku yang tidak bisa selalu bersamamu.” Jawab Rina.
“ Tapi Rin …. .” kata Ardi
“Aku tahu kamu pasti percaya bahwa Allah selalu membeikan kebahagiaan bagi hambanya, mungkin saja kita tidak bisa bersama di dunia ini, tetapi aku selalu berdoa semoga Allah mempertemukan dan mempersatukan cinta kita di akhirat kelak. Janganlah bersedih mas, aku ingin melihat senyumanmu yang dulu, tersenyumlah ! dibalik kesedihan ada kebahagiaan yang hakiki.

****

Sepanjang perjalanan ke rumah tak henti-hentinya hati Ardi berdzikir dan berdoa’a agar Allah memberikan yang terbaik untuk mereka berdua walaupun belum bisa bahagia di dunia Ardi harap bisa bahagia di akhirat.
Bagaikan hilang semangat hidup Ardi, seakan lupa akan hal-hal yang pernah ia raih untuk kebahagiaannya dan sekarang tak sedikitpun ia pikirkan. Yang ada di benaknya saat ini hanya bagaiman ia dapat menemani Rina hingga akhir yang benar-benar memisahkan mereka. Setiap hari selalu berkunjung ke rumah Rina, mungkin dengan kehadiran Ardi bisa menambah senyum di wajah Rina.

****

Semakin hari keadaan Rina semakin lemah, ketika hari ketujuh kedatangan Ardi, Rina dibawa kerumah sakit untuk penanganan lebih serius oleh dokter. Alhasil setelah semalaman di rumah sakit rina menghembuskan nafas yang terakhir dimana saat itu orang-orang yang ia sayang sedang berkumpul. Mulai dari adik Rina, Ayah dan Ibu Rina, sahabat, keluarga dan tak terkecuali Ardi, Rina sekarang telah tenang meninggalkan mereka semua. Dengan wajah tersenyum Rina pergi untuk selamanya.
Tangisan haru tak henti-hentinya Ardi keluarkan, tetesan air mata bagaikan aliran sungai di wajahnya. Duka yang begitu mendalam terpancar dari hati Ardi. Rasa tak percaya bahwa Rina sudah tiada membuatnya lemah tak berdaya. Angan, cita, impian yang Ardi inginkan telah sirna tiada harapan lagi baginya.
Meskipun Allah tidak menyatukan mereka di dunia tetapi telah menyatukan cinta mereka dalam cinta-Nya. Maha Suci Allah Sang Maha Cinta.



CINTA DALAM SEBUAH PERSAHABATAN

Oleh : Chikmah Nurul Azizah



Seumur-umur baru kali ini Zahra mengalami perasaan yang tidak karuan karena terlambat tiba di sekolah. Gelisah, bingung, panik, juga blingsatan. Semalam suntuk dia menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas fisika dari Bu Yayas. Paginya bangun kesiangan, hingga akhirnya sampai sekolah dia terlambat. “Wah, bisa kena hukuman nih, waduh gimana ya...” batin Zahra panik.

Sebagai siswa teladan dan aktivis organisasi di sekolah, yang membuatnya disegani oleh teman-temannya, Zahra merasa malu sekali telah melanggar peraturan sekolah. Tapi apa mau dikata, ia sudah terlanjur terlambat. Zahra memang pemalu.

Sedang bingung-bingungnya memikirkan bagaimana menjawab pertanyaan satpam supaya dibukakan pintu gerbang, juga bagaimana membalas tatapan mata teman-teman dan guru-guru karena ia terlambat, tiba-tiba ada seorang anak laki-laki berseragam sekolah menghampiri Zahra. Zahra tidak kenal anak itu. Anak laki-laki itu datang dengan raut wajah malu, bingung, dan memberanikan diri untuk bertanya kepada Zahra.

“Assalamualaikum, ukhti kamu sekolah di Madrasah ini ya?” tanyanya.

“Waalaikumsalam, iya aku sekolah di sini. Maaf, buru-buru nih udah telat, duluan ya,” kata Zahra sambil bergegas.

“Iya, terima kasih.”

Sampai di depan pintu gerbang sekolah, Pak Ridwan satpam yang super galak memperingatkan Zahra untuk tidak boleh terlambat lagi. Alhamdulillah, hati Zahra lega sekali tidak mendapat hukuman Pak Ridwan. Zahra langsung cepat-cepat menuju ke kelasnya. Sampai di kelas, Bu Yayas, guru fisika sudah mulai mengajar.

“Assalamu’alaikum Bu,” kata Zahra.

“Wa’alaikumsalam….,” jawab Bu Yayas dan teman-teman satu kelas.

“Maaf Bu, saya terlambat…” kata Zahra lirih.

“Ya, tidak apa-apa. Tapi, karena kamu terlambat ibu beri hukuman. Kamu harus menghafal minimal tujuh rumus fisika kalau tidak bisa kamu harus berdiri di depan sampai pelajaran ibu selesai.”

Dengan cepat dan tepat Zahra menyampaikan tujuh rumus fisika lengkap dengan penjelasannya. Karena tadi malam Zahra mengerjakan tugas fisika itu, dia mampu menjawabnya dengan baik. Seluruh siswa memberikan tepuk tangan karena kepandaian Zahra. Bu Yayas pun mempersilakan Zahra duduk.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, ternyata Pak Nanda waka kesiswaan dengan membawa seseorang, kelihatannya siswa baru. Pak Nanda menyampaikan kepada siswa-siswa bahwa ada siswa baru, namanya Muhamad Fahmi Ramadani asal sekolah SMA Islam Yogyakarta. untuk lebih jelasnya boleh perkenalan sendiri, lalu Pak Nanda mempersilakan Fahmi untuk duduk di samping Reza. Melihat anak baru itu Zahra kaget, “Bukankah itu anak yang tadi, ternyata anak baru, pantesan asing banget.”

****

Suasana kelas menjadi sunyi saat kegiatan belajar mengajar usai. Uraian Pak Mukhtasor, yang pada jam terakhir tadi menjelaskan materi akhlak, masih terngiang di benaknya. Zahra perlahan meninggalkan ruang kelas. Zahra ingin benar menjadi wanita yang solikhah. Setiap selesai mengikuti pengajian ataupun habis pelajaran agama, ia selalu merenung, bagaimana ia bisa menjadi wanita solikhah? Ah, lebih baik aku menjadi hamba yang baik dulu sebelum menjadi wanita yang solikhah. Sebentar lagi kajian ustadz Yahya akan dimulai, Zahra pun beranjak menuju aula.

“Sebagai remaja Islami, selayaknya adik-adik menjaga suatu anugerah yang telah diberikan Allah pada adik-adik semua, yakni sebuah rasa. Suatu rasa yang pernah Bapak rasakan ketika masih remaja seperti adik-adik saat ini, yakni rasa cinta. Rasa yang bisa dikatakan sebagai rasa kagum, simpati, perhatian, dan sebagainya. Usahakan kita bisa mengendalikan sebuah rasa cinta itu agar tidak melanggar syariat Islam. Perlu diketahui bahwa memandang lawan jenis dengan jantung berdebar-debar itu saja sudah berdosa, apalagi lebih dari itu. Saya harapkan adik-adik yang hadir di majelis ini bisa menjaga perasaan cinta dengan dengan cara lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.”

Begitu cuplikan dari isi kajian bersama ustadz Yahya. Dalam hati Zahra berkata, bahwa dia harus menjaga perasaannya itu, seandainya esok ia jatuh cinta, ia menginginkan cinta yang bisa mendatangkan cintanya kepada Allah SWT.

****

Suasana belajar mengajar berlangsung seperti biasanya. Tanpa terasa Fahmi si siswa baru itu semakin akrab dengan Zahra. Mereka berdua sering berdiskusi tentang segala hal yang salah satu diantara mereka ada yang kurang tahu dan mereka saling pinjam-meminjam buku atau novel mereka masing-masing.

“Allah selalu memberikan memberikan segala sesuatu yang indah pada waktunya, setuju kan Ra?,” kata Hana, sahabat Zahra yang sudah ia anggap sebagai saudara sendiri. Selama ini Zahra selalu duduk bersama Hana, kemanapun mereka pergi selalu bersama.

“Tentu saja. Allah memang selalu memberikan apapun pada kita yang terbaik menurutnya. Jadi apapun yang terjadi pada kita, kita wajib mensyukurinya,” balas Zahra dengan memberikan senyum manisnya.

Mereka berdua selalu sepaham dan hampir tidak pernah berbeda pendapat. Ketika jam istirahat Hana selalu menyempatkan waktunya untuk menulis di dalam buku diarynya. Sebuah kata mutiara yang indah ia goreskan dalam diarynya.

“Ya Allah, jika memang telah engkau tetapkan dia bukan mujahidku, bawalah dia pergi jauh dari pandanganku, hapuskan dia dari ingatanku, serta periharalah aku dari kekecewaan ini.”

“Dear diary… Dia anak baru yang sudah mencuri perhatianku akhir-akhir ini. Ya Allah, hati hamba berkata bahwa dalam raut wajahnya terlihat bahwa dia seorang hamba-Mu yang baik. Tak tahu kenapa hamba memikirkannya dan inilah kali pertama hamba merasakannya. Mungkinkah ini cinta? Apa yang terjadi padaku, ya Allah? Engkaulah penilai hati ini.”

****

Istirahat pertama Zahra dan Hana melihat seorang laki-laki dalam masjid sedang melakukan sholat dhuha, dalam hati mareka berdua menyimpan kekaguman pada laki-laki itu. Walaupun mereka sudah tahu siapa laki-laki itu mereka berharap bahwa teman-teman mereka meniru amaliah itu. Ketika ada mata pelajaran kosong Zahra lebih memilih untuk membaca buku-buku pelajaran sedangkan Hana lebih memilih untuk menulis buku diarynya.

“Dear diary… Ya Allah, tadi waktu istirahati aku melihat ada seorang laki-laki yang sedang sujud di rumah-Mu, ia sedang sujud memasrahkan dirinya pada-Mu. Hati hamba bergetar melihat laki-laki itu, hamba kagum padanya, benarkah dia adalah anak baru itu?Aku mohon, jagalah hati ini untuk hanya sekedar mengaguminya karena kepatuhannya pada-Mu Ya Allah!”

Hubungan Zahra dan Fahmi semakin dekat, seperti sahabat. Bahkan tanpa canggung Fahmi mau bercerita tentang permasalahan yang sedang dihadapi dalam keluarganya. Ayah dan Ibu Fahmi yang sering berbeda pendapat, bahkan selalu bertengkar bila perbedaan pendapat itu muncul. Sejak itu Zahra memberikan perhatian yang lebih kepada Fahmi. Sejak itu pula Zahra tahu kenapa Fahmi pindah sekolah dan selalu taat beribadah, hanya karena mengharap Allah akan memberikan segala yang terbaik untuk keluarganya namun, karena kedekatan itu justru membuat hati Hana sedih.

“Dear diary... Ya Allah, harus bagaimanakah hamba melihat semua ini? Tak bolehkah hamba jatuh cinta? Begitu sakit hamba melihat semua ini. Seandainya memang rasa sakit ini justru bisa menjadi sarana untuk lebih mendekatkan diri ini pada-Mu, hamba ikhlas Ya Allah. Namun, jagalah hati ini dari kekecewaan ini.”

****

Suatu saat Zahra mengungkapkan kedekatannya dengan Fahmi kepada Hana. Dengan panjang lebar Zahra menceritakan segalanya yang terjadi pada Fahmi. Zahra menyampaikan pula bahwa dia merasa kasihan dan empati pada Fahmi. Hal itu mendatangkan sebuah rasa yang lain kepada Fahmi. Kedekatan itu mengajarkan Zahra untuk lebih dekat lagi kepada Sang Pencipta. Zahra membiarkan rasa itu tumbuh dan berkembang seiring dengan prinsip cintanya bahwa dia akan mencintai seseorang yang dapat menumbuhkan kecintaannya kepada Allah SWT. Hana hanya terdiam mendengarkan curahan hati sahabatnya. Hana hanya memberi sedikit kata-kata, “Sebaiknya kamu pasrahkan saja kepada Allah, Dia yang akan membuatnya indah pada waktu yang Dia tentukan. Berdoa saja ya!”

Setelah pembicaraan itu, justru Hana yang kemudian merasa resah. Seperti halnya Zahra, diary kesayangan menjadi teman curhatnya.

“Dear diary… Ya Allah sungguh aku terkejut saat mendengar cerita dari sahabatku Zaahra, ternyata ia juga menyukai orang yang sama denganku,apa yang harus ku lakukan? Ku serahkan semua yang terbaik pada-Mu. Jagalah hati ini dari kekecewaan ini, meskipun begitu aku bahagia karena ini aku menjadi lebih dekat dengan-Mu, terima kasih Allah!” Begitulah goresan tinta curahan hati Hana di buku diarynya.

Saat jam pelajaran usai, Hana pulang dulu dengan terburu-buru karena ibunya sedang sakit di rumah. Zahra mendapat tugas piket kelas, sehingga terpaksa tidak dapat pulang bersama Hana. Dengan beberapa teman, Zahra membersihkan ruangan kelas. Saat membersihkan kolong mejanya, terlihatlah sebuah buku yang bersampul indah tergeletak di sana. “Lho, inikan diarynya Hana, ternyata jatuh di bawah meja. Mungkin dia terburu-buru, aku bawa pulang saja ah.”

****

Malam telah mulai larut namun Zahra belum juga tertidur. Diary Hana terus mengusik pikiran dan perasaannya. Ingin betul ia membaca isi hati Hana, yang pasti tertuang pada diary itu. Namun, dalam hati Zahra terngiang bahwa diary itu bukan haknya, berdosa jika ia membacanya. Berulang kali ia mencoba menutup matanya, tetapi ia tidak bisa. Karena keingintahuannya Zahra mengambil diary Hana yang sudah ia letakkan di meja, keragu-raguannya membuat Zahra mengembalikannya lagi. Tak disengaja ketika Zahra meletakkan diary itu di atas meja diary itu terbuka, dan goresan pena yang Hana tuliskan dalam diary tersebut terbaca oleh Zahra. Hati Zahra tersentak membaca kata demi kata dalam diary itu. Dengan tetesan airmata Zahra melanjutkan membaca lembaran-lembaran diary Hana.

“Astaghfirullah,,,,,, Ternyata Hana telah menyembunyikan rasa ini dariku, seandainya aku tahu sejak dulu pasti akan ku coba tuk menjauh dari Fahmi. Ya Allah kenapa mesti begini? Bagaimana kusampaikan semua ini pada Hana” . Kata batin Zahra dengan menangis.

****

Kumandang adzan subuh membangunkan Zahra dari tidurnya, bergegas dengan mata yang merah Zahra langsung mengambil air wudhu.

“Ya Allah….. Apa arti dari semua ini? Hamba telah menyakiti hati sahabat hamba, tapi hamba juga tidak bisa membohongi hati hamba sendiri kalau sebenarnya hamba juga menyukainya. Berikan jalan terbaik bagi hamba atas masalah ini. Dan berikanlah kekuatan jika hamba memang harus mengikhlaskan Fahmi hanya kaarena Engkau. Kabulkanlah doa hamba untuk kebaikan kami ini Ya Allah. Amin “. Seuntai doa Zahra seusai sholat subuh.

****

Waktu menunjukkan pukul tujuh, kegiatan belajar mengajar dimulai. Pelajaran pada jam pertama sedang berlangsung. Zahra dan Hana disibukkan dengan tugas menghafal Hadits dari guru mata pelajaran Hadits, sehingga mereka berdua tak sempat bercerita seperti biasanya. Bel usai jam pelajaran berbunyi pertanda waktu istirahat tiba. Zahra dan Hana menyempatkan waktunya untuk sholat Dhuha di mushala, seusai berdoa mereka kembali ke kelas dan pada saat itu ketika Hana akan mengambil diarynya dalam tas, saat itu pula Zahra memberikan diary Hana sambil berkata “maaf, kemaren diary ini jatuh di bawah meja karena ku tahu kamu sudah pulang, jadi buku ini aku bawa pulang saja. Dan ketika aku mencoba menghubungi ponselmu ternyata tidak aktif”. Mengetahui diarynya ada di Zahra, Hana langsung merebutnya, Hana takut kalau Zahra tahu isi hatinya. Dengan gugup Hana menjawab “makasih, kemaren memang aku sengaja mematikan ponsel agar aku bisa konsen merawat ibu aku”. Dengan terbata-bata Zahra berkata “Maafkan aku, tadi malem aku tak sengaja membaca diarymu, sekali lagi maaf”. Bingung hati Hana menjawab ketika mendengar Zahra bicara seperti itu. “aku juga minta maaf padamu, aku telah merahasiakan semua ini padamu, sebenarnya waktu itu aku mau cerita, tapi setelah aku mendengar tutur katamu aku urungkan niat itu, dan aku putuskan untuk tidak menceritakan padamu. Bagiku kebahagiaan sahabatku lebih berarti dibandingkan dengan perasaanku. Begitupun rasa cintaku Zahra, aku juga mencintai seseorang karena Allah dan jika memang aku harus mengikhlaskannya itupun juga karena Allah.”

Jawab Zahra dengan meneteskan airmata “Terimakasih kau memang sahabat yang baik, yang telah Allah berikan padaku. Biarlah rasa ini kita simpan, dan biarlah ini menjadi rahasia Allah, kita jalani hidup kita sekarang, kita lupakan perasaan kita masing-masing, biarlah waktu yang akan menjawab semua ini. Karena Allah yang akan menjadikan sesuatu yang idah diwaktu yang indah pula.”

Dengan meneteskan airmata mereka berdua saling berpelukkan menguatkan hati mereka masing-masing.

Minggu, 12 Desember 2010

PUDARNYA PESONA CLEOPATRA


Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.” Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu” kata ibu.

“Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu”, ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.

Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya.

Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bias berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun.

Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali. Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.

Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai.

Rabbighfir li wa liwalidayya!



Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya.

Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang.

Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang

bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja.

Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia. Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab ” tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga” Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’, ” kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih.

“wallahu a’lam” jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah? Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini”. Raihana mengiba penuh pasrah.

Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku.

Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. “Mas tidak apa-apa” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih” lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. “Mas airnya sudah siap” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk. “Mas aku buatkan wedang jahe” Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.

Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu.

” Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angina diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?” Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. “Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas”. ” Biasanya dikerokin” jawabku lirih.

” Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadismesir titisan Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya.” Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu” kata Ratu Cleopatra. ” Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu”. Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.

Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba ” Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya” kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. ” Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya” lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam.

Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.

Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bias dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.

” Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dielukelukan keluarga tidak datang” Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe.

Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. ” Maaf..maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. ” Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. ” Ya Mas!” sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil “dinda”. ” Matanya sedikit berbinar. “Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan.

Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. ” Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?”.

Hana begitu bahagia.

Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memakimaki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu?

Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini. Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. “Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga!” Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain.

Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal.

Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia.

Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana.

Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya.

Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. ”Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu” kata ibuku. ” Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.

Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku.

Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.

Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya” Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. ” Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta” gumamku.

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, ” Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita”.

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya.

Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.

Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan.

Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntahmuntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku nggak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab.

Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. “Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi. “Alhamdulillah, sudah” jawabku. ” Dengan orang mana?. ”Orang Jawa”. ” Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”. “Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”. ” Kau sangat beruntung, tidak sepertiku”. ” Kenapa dengan Bapak?” ”Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”. ” Bagaimana itu bisa terjadi?”. “Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predikat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia.

Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantik itu. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.

Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, samasama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan Yasmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin.

Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan. Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali namun Yasmin tidak bisa.

Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengen rendang, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia.

Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya.

Sepupunya mendapat suami orang Mesir.

Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut.

Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang menyakitkan. ” Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir”. Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.

Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong.

Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang”.

Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati.

Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya.

Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.

Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas Merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan ya Rabbii ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya.

Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.

“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba” tulis Raihana.

Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa” Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.

Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya.

Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau”.

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angina sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya.

Segera kukejar waktu untuk membagi Cintaku dengan Raihana.

Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. ” Mana Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi.

” Raihana…istrimu. .istrimu dan anakmu yang dikandungnya” . ” Ada apa dengan dia”. ” Dia telah tiada”. ” Ibu berkata apa!”. ” Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya” .

Hatiku bergetar hebat. ” kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”. “Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi Maafkanlah kami”.

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.

Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana.

Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua ……..















BY: Habiburrahman El Shirazy

Selasa, 09 November 2010

Seuntai Do'a

Robb, kutitipkan rindu untuk Saudara yang ku cintai karena Engkau..
Jadikan ia pangeran yang slalu menghembuskan nafas-nafas Iman Islam_Mu..
Jadikan ia pria sholeh yang slalu mendapat kasih sayang_Mu..
Jadikan ia muslim yang senantiasa menjaga izzah addin_Mu..
Ya Allah sayangilah ia, cintailah ia, ampuni ia & berkahilah ia..
Amin

Minggu, 31 Oktober 2010

Thank's to Allah

Mendengar nama Allah, "Allah"..
Hatiku tersentuh ingin meneteskan airmata, tidak bisa menggambarkan seberapa besar kasih sayang Allah kepada hamba yang penuh dosa ini, kadang terfikir kenapa Allah begitu sayang kepada ku? Ya, itulah Allah yang maha penyayang terhadap hambanya, tetapi apa yang telah aku berikan untuk Allah, untuk diri sendiri saja belum bisa.
Sungguh hina hamba ini ya Allah, Maafkan aku ya Allah, jika hamba kadang lalai atas perintah-Mu, atas anjuran kekasih-Mu.
Tunjukan hamba jalan yang lurus dan yang engkau ridhoi ya Allah.
Hanya pada-Mu hamba kembali dan memohon pertolongan.
Amiin.. ;-(

Sabtu, 30 Oktober 2010

Cinta Yang Hilang


tersenyumlah saat kau mengingatku
karena saat itu aku sangat merindukanmu
dan menangislah saat kau merindukanku
karena saat itu aku tak berada disampingmu
tetapi pejamkanlah mata indahmu itu
karena saat itu aku akan terasa ada didekatmu
karena aku telah berada dihatimu untuk selamanya

tak ada yang tersisa lagi untukku
selain kenangan – kenangan yang indah bersamamu
mata indah yang dengannya aku biasa melihat keindahan cinta
mata indah yang dahulu adalah milikku
kini semuanya terasa jauh meninggalkanku
kehidupan terasa kosong tanpa keindahanmu
hati cinta dan rinduku adalah milikmu

cintamu takkan pernah membebaskanku
bagaimana mungkin aku terbang mencari cinta yang lain
saat sayap – sayapku telah patah karenamu
cintamu akan tetap tinggal bersamaku
hingga akhir hayatku dan setelah kematian
hingga tangan tuhan akan menyatukan kita lagi

betapapun hati telah terpikat pada sosok terang dalam kegelapan
yang tengah menghidupkanku sinar redupku
namun tak dapat menyinari dan menghangatkan perasaanku yang sesungguhnya
aku tidak pernah bisa menemukan cinta yang lain selain cintamu
karena mereka tak tertandingi oleh sosok dirimu dalam jiwaku
kau takkan pernah terganti
bagai pecahan logam mengekalkan
kesunyian kesendirian dan kesedihanku
kini aku telah kehilanganmu

Rabu, 27 Oktober 2010

About me

Anak dari pasangan bapak Abdul Chozin dan ibu Daryati..
Anak ketiga dari tiga bersaudara (yg masih hidup).
1. Lina Alfaizah,
2. Rifqi fauziah,
3. Chikmah Nurul Azizah,

Aku Hidup didesa yg begitu damai,
masa TK, ku habiskan d'TK Putra Harapan sawangan,
berlanjut d'SDN 2 Sawangan,
kemudian melanjutkan d'MTsN Wonosobo, dan sekarang sedang mencari ilmu d'MAN 2 Banjarnegara kelas XI Agama..
Kesemua itu ku jalani berdasarkan takdir dan izin Allah..

S0 belajar melakukan sesuatu hanya untuk,dan karena Allah..